
Jakarta, majalahparlemen.com — Dua raksasa ekonomi Asia, China dan India, mulai memangkas impor batu bara dari Indonesia secara signifikan. Pergeseran ini terjadi seiring kedua negara tersebut mengalihkan permintaan ke batu bara dengan nilai kalori (calorific value – CV) lebih tinggi, yang dianggap lebih efisien dalam menghasilkan energi.
Menurut data industri dan analis, penurunan pembelian batu bara Indonesia berlangsung lebih cepat dibandingkan total impor batu bara termal kedua negara. Hal ini menunjukkan adanya perubahan preferensi pasar terhadap batu bara berkualitas lebih tinggi di tengah tren penurunan harga global.
“Batu bara dengan CV lebih tinggi memang lebih mahal, tapi menghasilkan energi lebih besar per dolar yang dikeluarkan. Satu juta ton batu bara high-CV dapat menggantikan 1,2 hingga 1,5 juta ton batu bara dari Indonesia,” kata Vasudev Pamnani, Direktur perusahaan dagang batu bara asal India, I-Energy Natural Resources.
Di China, batu bara Indonesia dengan kadar kalori menengah dan rendah makin sulit bersaing, terutama dengan pasokan diskon dari Rusia. Analis Kpler, Zhiyuan Li, menyebut batu bara Rusia yang menawarkan kualitas serupa namun lebih murah menjadi pilihan utama pembeli China.
Sementara itu, Direktur Utama Ombilin Energi, Ramli Ahmad, menyatakan bahwa batu bara Indonesia bisa kembali dilirik jika harga batu bara berkualitas tinggi kembali melonjak, terutama jika konflik di Timur Tengah memicu gejolak pasar. Namun, selama batu bara dengan CV tinggi tetap kompetitif, batu bara Indonesia dengan kadar rendah akan terus tertekan.
Data menunjukkan bahwa batu bara dari Mongolia di China dan Afrika Selatan di India menjadi pesaing utama Indonesia. Pangsa pasarnya bahkan mencapai rekor tertinggi selama lima bulan pertama 2025, menurut data bea cukai China dan statistik perdagangan India.
Menurut analis Mysteel, Xue Dingcui, efisiensi yang terus meningkat membuat batu bara Mongolia tetap kompetitif, meskipun harga batu bara termal di China menurun.
Tidak hanya itu, India dan China juga mulai melirik pasokan baru dari Tanzania—negara yang sebelumnya tidak masuk peta perdagangan global batu bara—sejak pecahnya perang Rusia-Ukraina pada 2022. India bahkan memperluas sumber pasokannya ke Kazakhstan, Kolombia, dan Mozambik. Sedangkan China mulai meningkatkan pembelian dari Australia.
Namun, indeks harga batu bara Indonesia dan Australia yang biasa menjadi acuan pembeli China mengalami tren penurunan sejak Oktober 2023. Bahkan, penurunan harga batu bara Australia lebih tajam dibandingkan Indonesia.
Secara keseluruhan, impor batu bara China turun hampir 10% menjadi 137,4 juta ton sepanjang Januari-Mei 2025. Impor India pun turun lebih dari 5% menjadi 74 juta ton. Indonesia terkena dampak paling besar, dengan ekspor ke China turun 12,3% dan ke India anjlok 14,3%.
Total ekspor batu bara Indonesia merosot 12% menjadi 187 juta ton dalam lima bulan pertama 2025, menurut data firma analitik Kpler.
Sebagai respons, para penambang Indonesia kini mulai mengalihkan fokus ke pasar domestik. Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia memprediksi pengiriman dalam negeri akan naik sekitar 3% tahun ini, sementara ekspor akan turun sekitar 10%.
Peningkatan permintaan domestik didorong oleh sektor smelter nikel, yang kini menyerap 48,6% dari total pasokan batu bara Indonesia—tingkat tertinggi dalam satu dekade terakhir, menurut data pemerintah yang dikutip Reuters.
Kebijakan pemerintah yang membatasi harga batu bara untuk pembangkit listrik turut mendorong industri smelter menjadi pasar yang lebih menjanjikan bagi penambang.
“Industri smelter saat ini menjadi titik terang. Harga yang kami dapatkan lebih baik dibandingkan penjualan ke pembangkit listrik atau ekspor ke China,” ujar Ramli Ahmad. *** Sumber : Reuters (irvan/sap)