
Jakarta, majalahparlemen.com — Polemik status administrasi empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara terus memantik gejolak sosial dan politik. Suara-suara penolakan terhadap keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kian membesar, dengan berbagai pihak mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mencopot sang menteri dari jabatannya.
Pemicunya adalah terbitnya Surat Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2‑2138/2025, yang menetapkan empat pulau—Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang—masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Keputusan tersebut dinilai sepihak dan menyingkirkan keterlibatan Pemerintah Aceh serta masyarakat adat setempat.
Kritik keras datang dari Anggota DPR RI asal Aceh, Muslim Ayub, yang menyebut keputusan Mendagri telah menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
“Keputusan itu dibuat secara tergesa dan tidak mempertimbangkan sejarah serta aspirasi masyarakat Aceh. Ini bukan sekadar soal batas, tapi soal keadilan dan harga diri daerah,” ujar Muslim Ayub dalam keterangannya di Jakarta, Senin (16/6/2025).
Ia meminta Presiden Prabowo memberikan sanksi tegas sebagai bentuk tanggung jawab atas kebijakan yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial-politik di wilayah ujung barat Indonesia itu.
Desakan serupa datang dari Serikat Aksi Peduli Aceh (SAPA) yang menganggap keputusan Mendagri sebagai bentuk pelecehan terhadap kedaulatan Aceh, yang selama ini dijamin dalam kerangka Otonomi Khusus (Otsus) berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006.
Koordinator SAPA, Tgk. Faisal Hanafiah, menilai SK Mendagri ini mencerminkan pelemahan sistematis terhadap hak Aceh dalam pengelolaan wilayah strategis, khususnya kawasan pesisir dan kepulauan.
“Ini bukan hanya kesalahan administratif, tapi juga simbol penghinaan terhadap semangat perdamaian dan otonomi. Kami mendesak Mendagri Tito dicopot,” tegas Faisal saat aksi unjuk rasa di Banda Aceh.
Sementara itu, gelombang protes meluas ke ibu kota. Pada Jumat (13/6/2025), puluhan mahasiswa dari Perhimpunan Mahasiswa Aceh (PMA) menggelar aksi di depan Kantor Kementerian Dalam Negeri.
Mereka mengecam keputusan SK tersebut dan mendesak pencopotan tidak hanya terhadap Mendagri, tetapi juga Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan, Safrizal ZA, yang disebut sebagai arsitek teknis kebijakan tersebut.
“Safrizal telah menjadi biang kerok administratif yang memantik api konflik. Kami minta pertanggungjawaban!” ujar Koordinator PMA, M. Fauzan, dalam orasinya.
Pihak Kemendagri membantah tuduhan keputusan sepihak. Dalam pernyataannya, kementerian menjelaskan bahwa penetapan wilayah dilakukan berdasarkan kajian teknis dari berbagai instansi, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Informasi Geospasial (BIG), dan dokumen legal lainnya.
Meski demikian, Kemendagri membuka ruang untuk gugatan hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika ada pihak yang merasa dirugikan.
Situasi yang terus memanas akhirnya mendorong Presiden Prabowo untuk turun tangan. Ia telah memerintahkan evaluasi menyeluruh terhadap SK Mendagri yang menuai kontroversi tersebut.
“Kita harus utamakan keadilan dan kedaulatan, tanpa menimbulkan gesekan antarwarga. Semua proses harus dikaji ulang secara jernih,” tegas Presiden dalam pernyataan tertulis yang dirilis Sekretariat Negara. *** (raihan/sap)