
Washington DC, majalahparlemen.com — Amerika Serikat melancarkan serangan besar-besaran ke Iran pada Minggu dini hari (22/6/2025) waktu Indonesia barat, sebagai bagian dari operasi militer bersama dengan Israel. Target serangan adalah tiga situs nuklir utama Iran — Fordo, Natanz, dan Esfahan — yang selama ini menjadi jantung program pengayaan uranium Republik Islam tersebut.
Presiden AS, Donald Trump mengumumkan langsung aksi militer ini melalui unggahan media sosial pada Sabtu malam waktu Washington. Ia menyebut serangan tersebut sebagai “momen historis bagi Amerika, Israel, dan dunia.”
“Seluruh pesawat telah keluar dari wilayah udara Iran. Kami menjatuhkan bom dalam jumlah besar di Fordo, situs nuklir utama milik Iran. Serangan ini sangat berhasil,” tulis Trump.
Dilansir CNN dan The New York Times, serangan ini melibatkan enam pesawat pengebom siluman B-2 yang membawa bom Massive Ordnance Penetrator (MOP) GBU-57A/B—dikenal sebagai “penghancur bunker”—yang menjangkau struktur bawah tanah terdalam. Fordo menjadi target utama dari dua belas bom jenis ini, masing-masing seberat 13,6 ton dan membawa 6.000 pon bahan peledak.
Sementara itu, dua situs lainnya, Natanz dan Esfahan, dihantam dari laut. Kapal selam Angkatan Laut AS menembakkan 30 rudal jelajah Tomahawk Land Attack Missiles (TLAM). Sebuah B-2 lainnya juga dikabarkan menjatuhkan dua bom penghancur bunker ke Natanz.
Total, AS menggunakan 14 bom penembus bunker dan 30 rudal jelajah dalam serangan terkoordinasi yang berlangsung pada pukul 03.00 waktu Teheran — berbarengan dengan waktu serangan udara Israel.
Situs Fordo selama ini diketahui sebagai fasilitas nuklir paling terlindungi di Iran karena dibangun jauh di bawah gunung dekat kota Qom. Dalam foto satelit terbaru dari Maxar Technologies (19/6/2025), terlihat aktivitas mencurigakan di area itu, yang kemudian memunculkan spekulasi bahwa situs tersebut menjadi target prioritas.
Kantor berita IRNA mengonfirmasi adanya ledakan besar di sekitar Isfahan dan Fordo, mengutip pernyataan Akbar Salehi, Deputi Gubernur Isfahan urusan keamanan. Namun, otoritas Iran belum memberikan rincian mengenai korban jiwa atau tingkat kerusakan.
Sebelum serangan ini dilancarkan, Gedung Putih sempat menyampaikan bahwa Presiden Trump akan menunggu dua pekan untuk mempertimbangkan opsi militer, guna memberi kesempatan pada jalur diplomatik di Geneva antara Iran dan negara-negara Eropa.
Trump bahkan sempat menanggapi positif perkembangan diplomasi tersebut. Namun, hanya tiga hari kemudian, keputusan berbalik arah — menunjukkan bahwa dinamika medan dan tekanan sekutu di kawasan telah mengubah arah kebijakan luar negeri AS.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, pada Rabu (18/6/2025), telah memperingatkan bahwa keterlibatan langsung AS dalam serangan Israel akan menimbulkan “kerusakan yang tak dapat diperbaiki.” Kementerian Luar Negeri Iran menyebut intervensi AS sebagai pemicu perang regional yang dapat meluas.
Kelompok Houthi di Yaman, yang sebelumnya menghentikan serangan atas dasar kesepakatan dengan Washington, mengancam akan menyerang kapal perang AS di Laut Merah sebagai respons jika Trump bergabung dengan Israel dalam aksi militer.
Sementara itu, militer Israel telah menyatakan kesiapan menghadapi perang jangka panjang, mengantisipasi kemungkinan serangan balasan dari Iran dan jaringan proksi yang tersebar di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman.
Hingga berita ini diturunkan, Iran belum memberikan respons militer terbuka. Namun, para analis menyebut bahwa serangan balasan tinggal menunggu waktu. Serangan ini bukan sekadar pengiriman pesan militer, tetapi juga geopolitik, dan efeknya bisa menyebar ke berbagai belahan dunia—dari harga minyak hingga ancaman keamanan global. *** (irvan/sap)