
Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti *)
(Anggota DPD RI, Ketua DPD RI ke-5)
Hari ini, bangsa Indonesia memperingati 66 tahun peristiwa monumental dalam sejarah ketatanegaraan: Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sebuah keputusan berani yang diambil Presiden Soekarno untuk membubarkan Konstituante hasil Pemilu 1955, sekaligus menyatakan kembalinya Indonesia ke Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusional negara.
Dekrit tersebut bukan sekadar keputusan politis, tetapi lahir dari kesadaran kolektif bangsa untuk melepaskan diri dari sistem Republik Indonesia Serikat (RIS), yang sejak awal merupakan warisan dan rekayasa kolonial Belanda. RIS bukanlah cerminan jiwa Proklamasi, melainkan sistem pecah-belah yang mencederai semangat persatuan dan kedaulatan bangsa.
Refleksi atas Dekrit Presiden hari ini bukan semata tentang nostalgia sejarah. Tapi momentum untuk bertanya secara jujur: Apakah bangsa ini perlu mengulang langkah serupa demi menyelamatkan diri dari degradasi ideologis dan praktik sistemik yang menjauh dari Pancasila?
Para pendiri bangsa, dengan terang dan jernih, telah merumuskan dasar dan sistem bernegara yang berpijak kuat pada nilai-nilai lokal dan budaya Nusantara. Pancasila adalah ruh, dan UUD 1945 adalah naskah hidup yang memuat sistem ketatanegaraan yang mengedepankan Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.
Sayangnya, sejak kemerdekaan hingga kini, konstitusi asli UUD 1945 belum pernah dijalankan secara murni dan konsekuen. Orde Lama dan Orde Baru gagal mewujudkannya secara utuh. Lebih parah, reformasi 1999–2002 justru melakukan amandemen yang menggeser semangat Pancasila, dan membuka ruang luas bagi liberalisme dan individualisme dalam sistem ketatanegaraan kita.
Di tengah turbulensi global dan kompleksitas tantangan masa depan, Indonesia butuh fondasi negara yang kokoh dan menyatukan, bukan sistem yang memecah atau mengasingkan rakyat dari negaranya sendiri. Kita memerlukan sistem yang menjadi wadah utuh dari seluruh elemen bangsa—bukan hanya sistem yang berpihak pada elite ekonomi dan politik.
Konstitusi asli UUD 1945 sesungguhnya adalah sistem itu. Ia mewadahi kehendak rakyat melalui perwakilan sejati, bukan dominasi partai. Ia menyatukan, bukan memisahkan. Tapi, sistem ini belum pernah benar-benar kita praktikkan. Inilah pekerjaan besar kita hari ini.
Kita tengah menghadapi gejala serius: kesejahteraan rakyat yang semakin menjauh, ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir kelompok, hukum yang tumpul ke atas, dan ketahanan nasional yang terus digerogoti. Politik kita kini penuh kosmetik. Hukum makin kehilangan wibawa. Industri nasional dikebiri. Energi dikuasai asing.
Kita menjadi bangsa pasar, bukan bangsa produsen. Kita hanya memutar produk luar yang bahan bakunya dari perut bumi kita sendiri—lalu hasilnya ditawarkan kembali kepada kita dalam bentuk utang.
Pertanyaannya, berapa lama lagi kita akan menutup mata terhadap fakta ini? Bukankah sudah cukup banyak hikmah yang harusnya menumbuhkan kesadaran kolektif kita sebagai bangsa?
Presiden Soekarno telah memberi teladan bahwa saat bangsa tersesat arah, Dekrit Presiden bisa menjadi peta jalan untuk kembali ke konstitusi asli dan jati diri bangsa. Bukan untuk mengulang sejarah secara buta, tapi untuk memulihkan arah perjalanan nasional.
Dan harapan kini tertuju kepada Presiden Prabowo Subianto. Semoga beliau memiliki waktu dan keberanian untuk merenungkan arah bangsa ini—sebagaimana pernah dilakukan oleh sang Proklamator. ***
Jakarta, 5 Juli 2025
*) Penulis adalah anggota DPD RI, Ketua DPD RI ke-5