
Jakarta, Majalah Parlemen — Trend kenaikan harga minyak dunia yang sangat dipengaruhi oleh faktor politik, pada akhirnya akan bisa menembus ke level US$ 100/bbls setelah sekitar 4 tahun harga minyak dunia terpuruk di level sekitar US $ 30 – 40.
Trend harga ini tentu akan punya dampak signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan perekonomian nasional, karena produksi minyak mentah nasional yang sangat rendah, saat ini hanya sekitar 788.000 bbls/day. Target APBN 2018 sekitar 800.000 bpd, padahal kebutuhan minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri sekitar 1.7 juta bpd.
Meski produksi minyak mentah dalam negeri memenuhi target APBN, sekitar 50% minyak mentah harus diimpor. Sementara di sektor hilir, kapasitas kilang Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri yang efektif sekitar 800.000 bpd. (dari kapasitas terpasang sekitar 1.100.000 bpd).
Meskipun seluruh kilang beroperasi 24 jam, BBM yang dihasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor minyak mentah dan BBM sekaligus dalam jumlah besar dengan harga juga yang terus naik dan kurs US $ yang terus menguat.
Namun dari produksi gas, menunjukkan angka yang melampaui target APBN. Produksi gas Januari – April 2018 mencapai sekitar 8.017 MMSCFD (juta standard kaki kubik per hari) sementara target APBN 2018, sekitar 6.720 MMCSFD.
Secara netto, jika harga minyak dunia naik, akan berdampak negatif terhadap sektor migas dan APBN. Kondisi ini berbeda dengan pada saat produksi minyak mentah nasional masih tinggi, berada di atas kebutuhan dalam negeri, dan kapasitas kilang BBM kita masih relatif cukup.
Mestinya langkah kebijakan tata kelola migas ke depan sebaiknya diarahkan sebagai berikut :
Pertama, kembalikan pengelolaan migas nasional yang saat ini dikelola oleh Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan yang diambil alih dari NOC berdasarkan UU Migas No.22/2001, sebaiknya dikembalikan ke NOC (Pertamina yang dibentuk dengan UU, bukan dengan Akte Notaris seperti PT. Persero saat ini) di mana nantinya sebaiknya NOC sebagai entitas bisnis Milik Negara bekerjasama dengan Investor Migas (di hulu dan di hilir) dalam pola “B2B”, sehingga proses investasi menjadi sederhana sekaligus tidak melanggar konstitusi dan tidak menghilangkan kedaulatan Negara atas SDA migas. NOC sebaiknya di bawah Presiden. Negara OPEC, Malaysia dan di banyak negara penghasil migas, juga NOC mereka di bawah Presiden/Perdana Menteri.
Kedua, untuk mengurangi ketergantungan pada impor BBM, percepat Program Penambahan Kapasitas Kilang Pertamina.
Ketiga, pemerintah dengan pertimbangan mendesak dan darurat, bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) untuk mengakhiri berlakunya UU Migas No.22/2001 yang faktanya bertentangan dengan Konstitusi, karena sudah 17 pasal-pasalnya dicabut oleh MK, sementara Revisi UU Migas No.22/2001 yang sudah diselesaikan di level Komisi VII DPR RI belum juga diundangkan karena proses yang masih tersendat di internal DPR RI.
Keempat, Perppu ditujukan untuk mempermudah proses investasi eksplorasi termasuk tidak membebani pajak dan pungutan kepada investor pada periode eksplorasi, mewajibkan NOC mempercepat penambahan kapasitas kilang existing dengan target waktu tertentu, dan mewajibkan NOC secara sendiri atau dengan bekerjasama dalam pola B2B dalam membangun Kilang baru (GRR – Grass Root Refinery) dengan terlebih dahulu melakukan Studi Tapak untuk lokasi GRR yang paling tepat dengan mempertimbangkan efisiensi dan keamanan nasional dalam jangka panjang. ***
Penulis: Dr. Kurtubi, Anggota Komisi VII DPR RI, Dapil Nusa Tenggara Barat, Fraksi Partai NasDem.